Profile

ELVIRA
Elvira Chairunisa
A beautiful name you will not forget
My nicks are: Vira or Moli
& my birthday is on 5/6/90
So wish me happy birthday on that day!
Yeah, & give me presents tooo!

Music

Your music code here! =)

please don't go away
Selasa, 06 April 2010

SENIN SAMPAI MINGGU TETAP DI “SENEN”

“sekilo enam belas ribu, dek… sekarang apa-apa mahal, dolar juga naik…”
Kira-kira itulah sepenggal kalimat yang kami dengar sembari menyusuri lorong-lorong gelap dan berbau menyengat di blok III Pasar Senen, Jakarta Pusat. Berbagai macam kebutuhan dasar manusia terpajang dengan rapinya di rak penyimpanan, dari yang paling krusial sampai yang sifatnya hanya melengkapi kebutuhan lainnya, menunggu untuk disentuh dan dibawa pulang. Dengan berseru (bahkan sampai berteriak) pedagang di Pasar Senen menawarkan barang jualannya. Kebanyakan penjual hanya menjajakan satu jenis komoditi saja, tapi tidak sedikit pula yang menjual segala macam kebutuhan pangan, sandang di satu tempat, seperti Ibu Lusi, seorang pedagang sembako (Bahan pangan.RED) yang telah 18 Tahun malang -melintang di kancah jual-menjual barang, mengisi tempatnya dengan bermacam-macam makanan pokok, makanan instant/siap-saji bahkan makanan kalengan dan minuman dalam kemasan/Sachet untuk memudahkan pembelinya dalam memilih.

Bahan Pangan yang paling sering dibeli oleh pelanggan adalah Telur, salah satu komoditi utama dari Toko ini. Toko ibu Lusi buka dari pukul 05.00 sampai 17.00. Modal yang ia siapkan untuk memulai bisnis ini cukup besar, sekitar 100 juta rupiah. Melihat penjualan hari-hari kini, Ibu Lusi hanya bisa mengelus dada dan geleng-geleng. ”hari-hari gini jadi pedagang musti sabar. Barang dagangan gak cepet abis, apalagi sekarang dolar naik sampe 10.000. kan bikin pembeli mikir. Kebanyakan dari mereka akhirnya beli ngecer (eceran.RED) biar irit” ucap ibu Lusi merujuk ke masalah fluktuasi keuangan dunia sambil menjajakan dagangannya. Mengenai tempat berjualan, ibu Lusi cukup bersyukur ia mendapatkan tempat di blok III ini. Pasalnya, banyak yang ingin berjualan di area ini, namun sangat susah mendapat kios yang kosong / disewakan. Sementara ibu Lusi sendiri hanya menempati tempat yang telah disewakan oleh kerabat dekatnya untuk menjalankan bisnis niaga-pangan ini. Ia tidak perlu membayar biaya sewa, hanya biaya retribusi untuk listrik, yang perbulannya berkisar antara Rp 60.000 - Rp 80.000.

Selain retribusi, Pasar Senen tidak menarik biaya bulanan apapun. Tapi lain hal jika berurusan dengan para ”penguasa pasar” alias Preman Senen, yang dikenal banyak orang sebagai sosok sangar yang biasanya menarik bayaran ”keamanan” (lagi-lagi kami harus memberi tanda kutip pada kenyataan yang ironi ini; Keamanan yang ditanggung oleh pihak yang mengancam keamanan itu sendiri) Ibu Lusi tidak berkeberatan untuk membayar sekitar Rp.1000 - Rp.2000, asalkan para preman itu tidak meminta lebih. ”namanya juga sama-sama cari makan, apalagi sekarang serba susah” sanggah Ibu Lusi, bernada Lirih. Semua penjual pun mendapat giliran ”iuran” ini.

Untuk barang dagangannya, Ibu Lusi menjual dari bermacam-macam kebutuhan dasar bahan pangan lokal (cth: Beras, Telur, Tepung, Bumbu dapur, dll) sampai ke produk siap saji buatan luar. Paling lama, setiap 2 hari sekali, ia harus kembali membeli barang dagangannya dari distributor/pemasok yang biasanya menawarkan barang dagangannya secara grosiran. Ibu Lusi pun tidak pernah khawatir akan masa depan toko ini. Berdasarkan pengalamannya berjualan selama 18 Tahun, pedagang bahan pangan atau sembako tidak akan pernah kekurangan pelanggan. Buktinya, sampai detik ini ia memiliki banyak pelanggan tetap, dari yang hanya membeli eceran sampai partai. Tidak heran, Pendapatannya sehari bisa mencapai Rp3.000.000.

Sebagai seorang Ibu dari 4 anak dan istri dari sang suami pengangguran yang memulai usaha kecil-kecilan dalam bidang kuliner (membuka kios makan),
Ibu lusi tetap menjual bahan pangan yang terjejer rapih di tempatnya.dapkan pada 2 pilihan; Bekerja untuk makan, atau tidak makan karna tidak bekerja. Bayangkan saja, Toko pangan Ibu Lusi buka dari hari senin sampai hari minggu tanpa pernah absen sekalipun. Kalaupun ibu Lusi berhalangan untuk berdagang, biasanya ia digantikan oleh salah satu anaknya. Tentu saja Ia tidak bekerja sendiri di toko ini, melainkan bersama dengan anak buahnya yang ia upah per-bulan. Bertempat tinggal di Bukit Duri - Sunter, memberikan ibu Lusi sedikit kelegaan dikarenakan jarak yang ia tempuh tidak terlalu jauh. Hari-harinya ia isi dengan bersyukur, tanpa mengeluh, bahwa hari ini ia masih dapat menghirup nafasnya.

”anak saya yang paling gede umurnya 32. dia udah kerja, di perusahaan swasta. Ade-ade nya masih pada kuliah, ada satu yang kuliah di Kramat jaya.” ucap Ibu Lusi, seorang ibu yang berjuang ditengah keramaian pasar demi keluarganya. “Yah, moga-moga aja keadaan bakal tambah baek. Ga ada yang mau jadi penjual, semuanya mau jadi orang sukses. Yang penting halal, saya udah bersyukur” lanjutnya lagi, menutup pembicaraan kami. Kembali, Hiruk-Pikuk pasar Senen memecah suasana hening. Refleksi kehidupan yang keras. Dari hari senin sampai minggu, ia tetap menunggu, di pasar Senen. (g.a.m)
07.07

Tagbox






Affiliates


Kikih
Intan
Maya
Okti
Sally
Nining
Fren


Layout by Kikih
Resources Amelia